Kamis, 02 Januari 2014

Negara Indonesia Masih Menjadi Negara Middle Income Trap

NUSA DUA. Selama lima tahun terakhir, Indonesia sudah masuk dalam golongan negara lower-middle income (pendapatan menengah).
Untuk itu, pemerintah mulai melakukan perbaikan struktural agar Indonesia tidak masuk dalam kondisi middle income trap ditengah kondisi saat ini.
Menteri Keuangan Chatib Basri memperingatkan, hingga saat ini hanya Korea Selatan saja yang dapat keluar dari kondisi middle income trap dan menjadi negara industrial baru.
Sebelumnya, Korea Selatan bersama Brazil dan Afrika Selatan menjadi negara the rising star dalam kategori pendapatan menengah di tahun 1980an.
Kesalahan Brazil dan Afrika Selatan tidak ingin diulangi pemerintah. Kedua negara tersebut hingga saat ini masih bergantung pada sektor komoditas. Jika harga komoditas merosot, otomatis pertumbuhan ekonomi di kedua negara tersebut melemah.
Hal sama juga terjadi di Indonesia yang memiliki sumber daya alam melimpah dan buruh murah. Akhirnya, mayoritas ekspor berasal dari bahan mentah.
Hal tersebut dilihat mantan kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) tak akan mendorong Indonesia naik kelas menjadi negara high income (berpendapatan tinggi).
"Harus ada inovasi dan teknologi untuk membuatnya memiliki nilai tambah," kata Chatib dalam pembukaan seminar internasional “Avoiding The Middle Income Trap: Lesson Learnt and Strategies for Indonesia to Grow Equitably and Sustainably” di Nusa Dua, Kamis (12/12).
Selain itu, peningkatan kemampuan sumber daya manusia pun diperlukan untuk kemajuan teknologi dan inovasi.
Chatib menggambarkan, Indonesia tak dapat bersaing dengan Banglandes untuk produksi kaos. Hal ini mengingat upah buruh di negara tersebut jauh lebih murah ketimbang Indonesia.
"Karena itu, harus ada invasi dari manusianya, misalnya dengan memproduksi batik. Karena banyak yang masuk ke golongan menengah. Jadi, untuk membeli batik yang harganya sedikit mahal tidak masalah," pungkasnya.
Editor: Dikky.Setiawan 
http://nasional.kontan.co.id/news/indonesia-masuk-kategori-negara-middle-income-trap

Sungguh diperihatinkan mengenai negara kita, Indonesia yang masih berada dalam kategori negara middle income trap. negara middle income trap adalah istilah yang diberikan kepada suatu negara berpendapatan menengah (middle-income countries) yang “terjebak” di posisinya dan tidak bisa melakukan lompatan untuk masuk menjadi negara maju baru. Jadi suatu negara telah mencapai suatu level pendapatan perkapita tertentu yang relatif cukup makmur, namun tidak mampu lagi mempertahankan momentum pertumbuhan yang tinggi, sehingga negara tersebut tidak kunjung naik kelas masuk dalam jajaran negara-negara maju. Jadi seolah-olah negara tersebut terkunci di tengah (stuck in the middle) di posisinya sebagai negara berpendapatan menengah. Kenapa negara-negara seperti Indonesia bisa stuck in the middle seperti itu. Penjelasannya simpel: “It’s easier to rise from a low-income to a middle-income economy than it is to jump from a middle-income to a high-income economy.” Penyebabnya, setelah masuk menjadi negara berpendapatan menengah mereka merasa nyaman dan tak cukup membangun SDM dan berinovasi untuk menghasilkan produk-produk dengan kandungan teknologi yang semakin tinggi.

 Inovasi dan SDM
Pada saat negara tersebut masih miskin mereka bisa memanfaatkan kemiskinannya untuk membangun daya saing melalui upah buruh yang rendah. Jadi negara-negara tersebut memacu perkembangan industri manufaktur berupah buruh rendah (labor-intensive manufacturing) seperti tekstil atau sepatu untuk mendorong pertumbuhan ekonomi. Perkembangan pesat industri macam ini akan mendorong terciptanya lapangan kerja dan pada gilirannya akan mendorong tingkat pendapatan masyarakat. Tapi industri manufaktur berbasis upah buruh murah ini tidak sustainable. Seiring dengan meningkatnya pendapatan, maka ongkos upah buruh pun akan meningkat. Kalau ini terjadi maka produk-produk yang dihasilkan berbagai industri tersebut tidak lagi kompetitif di pasar internasional. Kalau tidak kompetitif, maka industri-industri tersebut tak mampu berkembang, akibatnya pertumbuhan ekonomi negara menjadi terkendala. Untuk bisa naik kelas menjadi negara maju baru dan terhindar dari middle-income trap, maka mau tak mau negara-negara tersebut harus berinovasi dan mengelola SDM/modal menjadi lebih produktif. Mereka harus membangun kemampuan R&D dan mempekerjakan SDM yang berkualitas (highly educated & skilled worker). Gampangnya, untuk lolos dari middle-income trap, kemajuan negara harus didukung “otak“, bukan sekedar “otot” Korea Selatan adalah contoh negara yang sukses keluar dari middle-income trap dengan mengembangkan kemampuan R&D dan SDM. Perusahaan-perusahaan seperti Samsung, LG, Hyundai adalah perusahaan yang memiliki kemampuan teknologi yang sangat baik sehingga produknya tetap kompetitif di pasar internasional.
Creative Class
Apa pesan terpenting dari adanya fenomena middle-income trap ini bagi Indonesia? Dengan terlampauinya pendapatan perkapita $3000 tahun 2010, maka kini Indonesia beranjak untuk menjadi negara berpendapatan menengah. Prestasi ini tak boleh membuat Indonesia berada dalam zona nyaman, karena bisa-bisa Indonesia terkena middle-income trap seperti yang dialami Malaysia. Indonesia harus tetap bekerja keras untuk membangun basis kemampuan teknologi dan SDM agar bisa melompat menjadi negara maju. Melihat fenomena middle-income trap, saya jadi teringat satu buku luar biasa yang ditulis Richard Florida berjudul The Rise of Creative Class (2002). Intinya buku ini mengatakan bahwa suatu bangsa akan maju jika mereka memiliki kelompok masyarakat kreatif (creative class) yang berperan strategis menghasilkan nilai tambah ekonomi melalui olah pikir, kreativitas, dan inovasi yang mereka hasilkan. Mereka adalah seniman, programer/software developer, arsitek, product designer, konsultan, creative director, pengrajin, fotografer, dan tentu saja entrepreneur. Merekalah kelompok masyarakat yang akan bisa membawa Indonesia lolos dari middle-income trap. Kita patut bangga kini punya sekitar 150 juta masyarakat kelas menengah. Tapi itu semua tidak ada apa-apanya kalau kelas menengah itu hanyalah sebatas kelas pembelanja dan kelas konsumeris. Pekerjaan besar bangsa ini adalah membentuk kelas menengahnya menjadi creative class yang produktif menciptakan lapangan kerja dan membangun daya saing Indonesia.

Ingat rumus ampuh ini: [MC = CC]*
*MC: middle class; CC: creative class
(Baca: Agar Indonesia menjadi negara basar, kelas menengahnya haruslah kelas kreatif)
Dinamika perekonomian di indonesiaakhir-akhir ini sebenarnya juga menunjuk pada akar masalah yang sama. Pertama, nilai tukar rupiah, yang pada penutupan minggu lalu hampir Rp 12.200 per dollar AS. Sejak pengumuman rencana pengurangan program stimulus (tapering) di AS, Mei lalu, pasar kita terus bergejolak. Kini, saat tapering diputuskan dilakukan bertahap per Januari 2014, gejolak tak kunjung reda, bahkan berisiko meningkat. Banyak pihak menilai, sebenarnya nilai fundamen rupiah lebih dekat ke angka Rp 11.000, tetapi faktanya melewati Rp 12.000.
Kedua, sudah sejak April 2012, neraca perdagangan kita lebih sering defisit. Selama 20 bulan, hanya lima kali terjadi surplus perdagangan yang relatif kecil, termasuk Oktober lalu surplus 42,4 juta dollar AS. Sejak neraca perdagangan defisit, neraca transaksi berjalan juga tertekan berat. Selama ini, surplus neraca transaksi berjalan sangat mengandalkan neraca barang (ekspor-impor) karena neraca jasa selalu defisit. Seharusnya, negara sebesar Indonesia mampu bersaing lebih baik di tingkat global dan regional dengan memanfaatkan kekayaan sumber daya alam dengan lebih baik. Faktanya, kita selalu tertatih-tatih dalam persaingan regional dan global.
Ketiga, salah satu penyumbang terbesar impor kita adalah bahan bakar minyak (BBM). Selain membebani neraca impor, impor BBM juga menekan anggaran akibat subsidi yang meningkat. Akibat depresiasi rupiah sekitar 25 persen dari awal tahun, beban subsidi BBM bertambah sekitar Rp 50 triliun. Besarannya setara dengan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, seperti DKI Jakarta. Jika tidak ada perubahan perilaku (harga dan konsumsi), beberapa tahun ke depan kita akan menjadi negara pengimpor BBM terbesar di dunia. Kita selalu meyakini, tak seharusnya subsidi BBM begitu membebani, tetapi selalu gagal menemukan konsensus penyelesaian mendasar.
Tiga hal itu sudah meyakinkan bahwa kita tengah memasuki perangkap negara berpenghasilan menengah. Ada banyak hal yang seharusnya tidak terjadi, tetapi faktanya persoalan tersebut seakan menjerat kita. Hari-hari ini kita terperangkap dengan tekanan nilai tukar, masalah neraca perdagangan dan anggaran subsidi BBM. Sinyal kuat, kita tengah memasuki middle-income trap.
Kita ”terperangkap” dalam sejumlah persoalan yang seakan tak ada solusinya. Setiap kali kita meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan investasi, neraca kita tertekan oleh impor bahan baku yang tinggi. Setiap kali kita menghadapi tekanan pasar, seakan tak ada pilihan selain menaikkan BI Rate. Begitu pula dalam hal strategi industri. Semestinya kita tak lagi mengekspor komoditas primer, tetapi faktanya tak mudah mendorong hilirisasi. Mestinya kebijakan low cost green car (LCGC) mampu memberikan insentif bagi kebangkitan industri komponen di Tanah Air. Faktanya, selain menambah kemacetan, LCGC juga meningkatkan konsumsi BBM.
Akibat terjebak dalam berbagai hal, kita menjadi bangsa yang seakan tak punya arah kebijakan jelas. Setiap kali muncul kebijakan yang maksudnya baik, implementasinya di lapangan begitu buruk. Kita terjebak dalam begitu banyak masalah rumit yang menghantui perekonomian kita. Dari mana kita mulai mengatasi kerumitan tersebut?
Paling tidak ada dua elemen pokok yang harus ditata. Pertama, elemen terkait kelembagaan. Sebagus apa pun kebijakan teknis, tanpa kelembagaan yang baik hanya akan menimbulkan kontradiksi dan kontroversi. Faktor penting pada kelembagaan adalah kepemimpinan, koordinasi, dan kompetensi. Tanpa ada tiga unsur tersebut, mustahil bisa membangun kelembagaan yang baik bagi perekonomian kita. Kedua, kebijakan teknis yang memadai dalam menjawab aneka persoalan aktual di berbagai bidang.
Pertama, soal defisit neraca jasa. Sebenarnya ada diskusi tentang perubahan cara penghitungan dari freight on board (FOB) menjadicost, insurance, and freight (CIF). Intinya, selama ini kalau kita mengekspor, hanya menaruh barang di pelabuhan. Sementara mitra kita mengurus mulai dari pengapalan dan asuransi. Kita harus berani memikirkan menggunakan pelaku domestik dalam hal pengapalan dan asuransi. Untuk diketahui, biaya pengapalan dan asuransi menjadi salah satu penyumbang defisit neraca jasa terbesar. Jika kita bisa mendorong agar pelaku domestik terlibat dalam bisnis pengapalan dan asuransi, akan sangat membantu menyelesaikan defisit neraca jasa.
Kedua, soal defisit perdagangan. Insentif fiskal bisa diarahkan bagi investor yang ingin membangun industri bahan baku dan bahan penolong di dalam negeri. Tujuannya, kebutuhan bahan baku bisa disediakan di pasar domestik sehingga setiap kali terjadi peningkatan pertumbuhan akibat konsumsi dan investasi tak terlalu membebani neraca impor. Meski masih jauh, kebijakan tersebut bisa menjadi langkah awal membangun industri domestik.
Ketiga, soal defisit anggaran akibat besarnya subsidi BBM. Pemerintah harus berani mengeksekusi kebijakan subsidi tetap, mengalokasikan subsidi setiap liter; jika ada kenaikan harga, konsumen yang harus menanggung. Tanpa ada keberanian melakukan perubahan mendasar dalam sejumlah kebijakan jangka panjang, kita akan selalu terjebak dalam pilihan sulit. Di luar segala hal tersebut, faktor paling penting adalah kepemimpinan untuk menjalankan kebijakan tersebut dengan arah yang jelas dalam jangka panjang. 




referensi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar